Translate

ADVERTISE


Pertanyaan :
Sanksi PNS yang Tak Melaporkan Perceraian
Saya mau tanya apa hukumnya PNS yang tidak melaporkan perceraian kepada atasan atau instansinya? Padahal perceraian sudah terjadi 10 tahun yang lalu. Sesuai PP 53 tahun 2010 tidak dijelaskan secara rinci.
Jawaban :
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang akan melakukan perceraian harus memperoleh izin terlebih dahulu dari pimpinannya sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (“PP 45/1990”):
(1)   Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin atau surat keterangan lebih dahulu dari Pejabat;
(2)   Bagi Pegawai Negeri Sipil yang berkedudukan sebagai penggugat atau bagi Pegawai Negeri Sipil yang berkedudukan sebagai tergugat untuk memperoleh izin atau surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mengajukan permintaan secara tertulis;
(3)   Dalam surat permintaan izin atau pemberitahuan adanya gugatan perceraian untuk mendapatkan surat keterangan harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasarinya.
Sedangkan pejabat yang dimaksud oleh Pasal 3 ayat (1) PP 45/1990 berdasarkan Pasal 1 huruf b Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil (“PP 10/1983”) adalah:
1.    Menteri;
2.    Jaksa Agung;
3.    Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen;
4.    Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara;
5.    Gubernur Kepala Daerah Tingkat I;
6.    Pimpinan Bank milik Negara;
7.    Pimpinan Badan Usaha milik Negara;
8.    Pimpinan Bank milik Daerah;
9.    Pimpinan Badan Usaha milik Daerah.
Menurut penjelasan Pasal 3 ayat (1) PP 45/1990, ketentuan ini berlaku bagi setiap PNS yang akan melakukan perceraian, yaitu bagi PNS yang mengajukan gugatan perceraian (penggugat) wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat, sedangkan bagi PNS yang menerima gugatan perceraian (tergugat) wajib memperoleh surat keterangan lebih dahulu dari pejabat sebelum melakukan perceraian.
Selanjutnya penjelasan Pasal 3 ayat (2) PP 45/1990 mengatakan bahwa permintaan izin perceraian diajukan oleh penggugat kepada pejabat secara tertulis melalui saluran hierarki sedangkan tergugat wajib memberitahukan adanya gugatan perceraian dari suami/istri secara tertulis melalui saluran hierarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya enam hari kerja setelah menerima gugatan perceraian.
Dari sini kita dapat ketahui bahwa PNS yang ingin melakukan gugatan perceraian terhadap pasangannya (sebagai penggugat) wajib meminta izin secara tertulis kepada pejabat, sedangkan bagi PNS yang menerima gugatan perceraian dari pasangannya (sebagai tergugat) selambat-lambatnya enam hari setelah menerima gugatan tersebut, PNS itu wajib memberitahukan perceraian secara tertulis kepada pejabat agar memperoleh surat keterangan dari pejabat.
Berkenaan dengan jangka waktu kewajiban atasan memberikan pertimbangan dan meneruskan kepada pejabat, kita mengacu pada Pasal 5 ayat (2) PP 45/1990:
“Setiap atasan yang menerima permintaan izin dari Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungannya, baik untuk melakukan perceraian dan atau untuk beristri lebih dari seorang, wajib memberikan pertimbangan dan meneruskannya kepada pejabat melalui saluran hierarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan izin dimaksud.
Dari pasal-pasal yang kami sebutkan di atas terdapat tiga (dua) hal yang mengatur tentang jangka waktu terkait izin perceraian, yaitu:
1.    Bagi PNS yang ingin mengajukan gugatan perceraian harus terlebih dulu meminta izin dari atasan.
2.    Jangka waktu bagi PNS yang menjadi tergugat untuk memberitahukan perceraian kepada pejabat, yakni 6 (enam) hari setelah menerima gugatan perceraian
3.    Jangka waktu bagi atasan memberikan pertimbangan dan meneruskannya kepada pejabat melalui saluran hierarki, yakni 3 (tiga) bulan sejak ia menerima permintaan izin perceraian dari PNS di bawahnya.
Apa hukuman yang dapat diterima jika PNS tidak melaporkan perceraiannya? Menurut Pasal 15 ayat (1) PP 45/1990, PNS yang tidak melaporkan perceraiannya dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu bulan terhitung mulai terjadinya perceraian, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil (“PP 30/1980”).
Perceraian PNS yang telah terjadi 10 (sepuluh) tahun lalu sebagaimana yang Anda tanyakan tentu sudah melewati jangka waktu yang ditetapkan oleh PP 45/1990 yakni satu bulan. Oleh karena itu, PNS tersebut dapat dikenakan hukuman disiplin berat.
Perlu Anda ketahui, PP 30/1980 telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (“PP 53/2010”), sebagaimana disebutkan dalam Pasal 50 PP 53/2010. Sedangkan jenis hukuman disiplin berat yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) PP 53/2010 terdiri dari:
a.    penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun;
b.    pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah;
c.    pembebasan dari jabatan;
d.    pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS;
e.    pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.
Salah satu alasan dijatuhkannya hukuman disiplin berat berdasarkan Pasal 10 angka 13 PP 53/2010 adalah karena pelanggaran terhadap kewajiban menaati peraturan kedinasan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang. Menurut hemat kami, kewajiban menaati peraturan kedinasan adalah salah satunya kewajiban melaporkan perceraian.
Kemudian, mengenai pejabat yang berhak menentukan jenis hukuman disiplin berat mana yang akan dijatuhkan kepada PNS tersebut, tergantung pada jabatan dari PNS itu. Mengenai pejabat yang berwenang menghukum, dapat dilihat dari Pasal 15 – Pasal 22 PP 53/2010.
Demikian penjelasan dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:

Aturan Hukum Jika PNS Ingin Berpoligami
Saya seorang PNS, ingin menikah lagi sebab istri saya tidak bisa melahirkan anak, jadi saya tidak punya keturunan. Namun saya tidak akan menceraikan istri saya. Perlu diketahui bahwa saya beragama Kristen. Kalau bisa saya ingin mempunyai istri kedua itu seorang PNS juga. Saya minta untuk klinik hukum dapat memberikan pandangan dari sudut hukum.
Jawaban :
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahanDemikian yang disebut dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”).
Sedangkan ketentuan khusus yang mengatur tentang izin perkawinan PNS untuk beristri lebih dari satu (poligami) terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (“PP 45/1990”), khususnya dalam Pasal 4 PP 45/1990 yang berbunyi:
(1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.
(2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat.
(3) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis.
(4) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristri lebih dari seorang
Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 4 ayat (2) PP 45/1990 disebutkan bahwa ketentuan ini mengandung pengertian bahwa selama berkedudukan sebagai istri kedua/ketiga/keempat dilarang menjadi PNS.
Berkaitan dengan pertanyaan Anda, dari ketentuan ini dapat dilihat bahwa Anda bisa beristri lebih dari satu, setelah mendapat izin dari Pejabat.
Di samping itu, dari ketentuan ini bisa kita simpulkan pula bahwa Anda tidak boleh menikah dengan wanita yang berstatus sebagai PNS karena ini akan menjadikannya sebagai istri kedua Anda. PNS wanita dilarang untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat. Dengan kata lain, Anda hanya bisa menikahi wanita yang tidak berstatus sebagai PNS.
Mengenai syarat memperoleh izin terlebih dahulu dari Pejabat, adapun yang dimaksud dengan pejabat menurut Pasal 1 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil (“PP 10/1983”) adalah:
1.    Menteri;
2.    Jaksa Agung;
3.    Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen;
4.    Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara;
5.    Gubernur Kepala Daerah Tingkat I;
6.    Pimpinan Bank milik Negara;
7.    Pimpinan Badan Usaha milik Negara;
8.    Pimpinan Bank milik Daerah;
9.    Pimpinan Badan Usaha milik Daerah.
Pejabat yang menerima permintaan izin untuk beristri lebih dari seorang ini wajib memperhatikan dengan seksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam surat pemintaan izin dan pertimbangan dari atasan PNS yang bersangkutanDemikian yang disebut dalam Pasal 9 ayat (1) PP 45/1990.
Pemberian atau penolakan pemberian izin bagi PNS untuk beristri lebih dari seorang dilakukan oleh Pejabat secara tertulis dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan terhitung mulai ia menerima permintaan izin tersebut. Hal ini disebut dalam Pasal 12 PP 45/1990.
Jika Pejabat menilai bahwa alasan-alasan dan syarat-syarat yang dikemukakan dalam permintaan izin tersebut kurang meyakinkan, maka Pejabat harus meminta keterangan tambahan dari istri PNS yang mengajukan permintaan izin atau dari pihak lain yang dipandang dapat memberikan keterangan yang meyakinkan. Ketentuan ini disebut dalam Pasal 9 ayat (2) PP 10/1983.
Sebelum mengambil keputusan, pejabat tersebutpun memanggil Anda atau bersama-sama dengan istri Anda untuk diberi nasihat [lihat Pasal 9 ayat (3) PP 10/1983].
Kemudian, apa saja syarat-syarat yang wajib Anda penuhi sebagai bahan pertimbangan dari Pejabat itu? Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) PP 10/1983, izin untuk beristri lebih dari seorang hanya dapat diberikan oleh Pejabat apabila memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif yang disebut dalam Pasal 10 ayat (2) dan (3) PP 10/1983.
Syarat alternatif dan kumulatif tersebut adalah:
1.    Syarat Alternatif:
a.    istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
b.    istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau
c.    istri tidak dapat melahirkan keturunan.
2.    Syarat Kumulatif:
a.    ada persetujuan tertulis dari istri;
b.    Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang istri dan anak anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan; dan
c.    ada jaminan tertulis dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya
Dalam konteks pertanyaan Anda, alasan Anda untuk beristri lebih dari satu adalah karena istri Anda tidak bisa melahirkan anak. Berkaitan dengan hal ini, yang dimaksud dengan tidak dapat melahirkan keturunan dalam salah satu syarat alernatif di atas adalah apabila isteri yang bersangkutan menurut keterangan dokter tidak mungkin melahirkan keturunan atau sesudah pernikahan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun tidak menghasilkan keturunan (Penjelasan Pasal 10 ayat (2) huruf c PP 10/1983). Oleh karena itu, Anda perlu memastikan kembali bahwa istri Anda berdasarkan keterangan dokter tidak bisa melahirkan keturunan atau dalam usia pernikahan Anda sekurang-kurangnya 10 tahun ini istri Anda tidak menghasilkan keturunan.
Selain hal-hal di atas, ada syarat lain yang harus dipenuhi agar dapat berpoligami, yaitu bahwa hal tersebut tidak bertentangan dengan ajaran agama Anda. Hal ini karena izin untuk beristri lebih dari seorang tidak diberikan oleh Pejabat apabila [lihat Pasal 10 ayat (4) PP 10/1983]:
a.    bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut PNS yang bersangkutan;
b.    tidak memenuhi setidaknya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif;
c.    bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d.    alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat; dan/atau
e.    ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan.
Jika dalam ajaran agama Anda (Kristen) tidak diperbolehkan beristri lebih dari seorang, maka Anda tidak bisa mendapatkan izin dari Pejabat.
Di atas kami telah menyebutkan syarat-syarat PNS untuk memperoleh izin berpoligami. Lalu apa sanksinya jika PNS yang bersangkutan tidak mendapatkan izin dari pejabat untuk berpoligami atau tidak melaporkan perkawinannya? Untuk menjawabnya, kita mengacu pada Pasal 15 PP 45/1990 yang mengatur bahwa PNS yang tidak melaporkan perkawinannya yang kedua/ketiga/keempat dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu tahun terhitung sejak perkawinan tersebut dilangsungkan, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil (“PP 30/1980”).
Perlu Anda ketahui, PP 30/1980 telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku berdasarkan Pasal 50 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (“PP 53/2010”). Adapun jenis hukuman disiplin berat yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) PP 53/2010 terdiri dari:
a.    penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun;
b.    pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah;
c.    pembebasan dari jabatan;
d.    pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS;
e.    pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.
Demikian penjelasan dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:

Apakah Janda PNS yang Menikah Lagi Masih Berhak atas Tunjangan Istri?
Yth hukumonline.com. Teman saya, seorang PNS pria beragama Islam cerai dari istrinya dan membayar tunjangan untuk anak dan mantan istri (pembagian gaji sesuai PP 10/1983). Tetapi dia mendapatkan informasi bahwa mantan istrinya tinggal bersama lelaki lain yang tidak bekerja. Kata keluarga mantan istri, mereka telah menikah tetapi secara siri (tidak terdaftar). 1. Apakah teman saya dapat menghentikan tunjangan terhadap mantan istrinya? 2. Apakah hal ini dapat dipakai untuk merebut hak asuh anak? (anak saat ini bersama mantan istri) Terima kasih.
Jawaban :
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Berdasarkan keterangan yang Anda sampaikan, kami simpulkan bahwa teman Anda sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) pria-lah yang berkehendak untuk bercerai saat itu karena ia menyerahkan sebagian gajinya untuk mantan (bekas) istrinya. Oleh karena itu, baginya berlaku ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil (“PP 10/1983”) sebagaimana yang telah diubah oleh Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (“PP 45/1990”) mengenai salah satu hak bekas istri PNS:
Apabila perceraian terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil pria maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas istri dan anak-anaknya.
Jadi kewajiban untuk menyerahkan sebagian gaji tersebut hanya timbul apabila perceraian adalah atas kehendak suami.
Sedangkan mengenai pembagian gaji bekas suami tersebut, dapat dilihat pengaturannya lebih lanjut dalam Pasal 8 ayat (2) PP 10/1983 yang berbunyi:
Pembagian gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah sepertiga untuk Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan, sepertiga untuk bekas istrinya dan sepertiga untuk anak atau anak-anaknya.
Dengan demikian, hak istri yang diceraikan oleh suaminya yang berstatus sebagai PNS adalah mendapatkan sepertiga dari gaji bekas suaminya. Lalu bagaimana jika mantan istrinya menikah lagi? Apakah ia masih berhak atas pembagian gaji mantan suaminya yang PNS itu?
Berdasarkan Pasal 8 ayat (7) PP 45/1990, jika si bekas istri menikah lagi, maka haknya atas gaji si bekas suami menjadi hapus. PP 45/1990 ini memang tidak menjelaskan lebih lanjut apakah “menikah lagi” yang dimaksud di sini adalah menikah secara resmi berdasarkan hukum negara atau hanya berdasarkan hukum agama. Namun demikian, secara historis, PP 45/1990 dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”). Hal ini dapat dilihat di bagian mengingat dari PP tersebut. Oleh karena itu, mengenai perkawinan, kita merujuk pada UU Perkawinan.
Perkawinan sah yang dimaksud dalam UU Perkawinan adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Berangkat dari sini, maka perkawinan yang dilakukan lagi oleh mantan istri PNS itu haruslah perkawinan yang sah, tidak hanya sesuai dengan hukum agama saja (nikah siri), tetapi juga harus diakui oleh negara. Oleh karena itu, secara hukum, teman Anda tetap berkewajiban memberikan sebagian gajinya kepada istrinya.
Menjawab pertanyaan Anda yang kedua, pada dasarnya hak asuh anak itu ditentukan melalui putusan pengadilan. Hak asuh pada dasarnya harus mempertimbangkan perkembangan spiritual anak, akan tetapi tetap dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain yang pada intinya bertujuan untuk memberikan yang terbaik bagi si anak. Penjelasan lebih lanjut mengenai hak asuh anak setelah perceraian ini dapat Anda simak dalam artikel Hak Asuh Anak dalam Perceraian Pasangan Beda Agama.
Demikian penjelasan dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:


Bolehkah Pengadilan Memutus Cerai PNS Walau Belum Ada Izin Atasan?
1. Bagaimana kewenangan Pengadilan Agama menerima perkara perceraian yang diajukan oleh PNS apabila persyaratan Keputusan Izin Cerai oleh atasan belum dikeluarkan? 2. Bagaimana kedudukan Pengadilan Agama apabila keputusan izin cerai PNS ditolak oleh atasan, apakah Pengadilan Agama tetap melanjutkan untuk diputuskan tanpa keputusan izin cerai? Terima kasih.
Jawaban :
Intisari:
PNS yang oleh Pengadilan telah diberikan waktu untuk mengurus izin namun enggan melaksanakannya ataupun telah dilaksanakannya namun tidak mendapat izin sedangkan yang bersangkutan tetap ingin bercerai, maka hal tersebut menjadi resiko dan tanggung jawab PNS itu sendiri. Di sisi lain, pengadilan tidak boleh menolak perkara yang dilimpahkan kepadanya sehingga pengadilan agama tetap memeriksa dan memutus perkara perceraian PNS.
Secara prinsip, izin cerai PNS dari pejabat merupakan syarat formil yang jika tidak dipenuhi, maka hakim dapat memutus bahwa gugatan tidak dapat diterima (NO). Namun dalam praktiknya, hakim dapat saja tetap memutus cerai PNS yang bersangkutan walau ia belum mengantongi izin cerai. Penjelasan lebih lanjut dan contoh kasusnya dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Izin Perceraian PNS
Perceraian hendaknya menjadi pilihan terakhir bagi pasangan suami istri setelah semua upaya telah ditempuh untuk menjaga keutuhan rumah tangga.
Anda benar bahwa ada sejumlah aturan yang perlu diketahui bagi Pegawai Negeri Sipil (“PNS“) yang ingin mengajukan perceraian, salah satunya adalah wajib memperoleh izin atau surat keterangan lebih dahulu dari pimpinannya.[1] Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikel Sanksi PNS yang Tak Melaporkan Perceraian.
PNS tersebut, baik yang berkedudukan sebagai penggugat atau tergugat, untuk memperoleh izin atau surat keterangan harus mengajukan permintaan secara tertulis dengan mencantumkan alasan yang lengkap yang mendasari perceraian tersebut.[2]
Setiap PNS yang akan melakukan perceraian, yaitu bagi PNS yang mengajukan gugatan perceraian (penggugat) wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat.Sedangkan bagi PNS yang menerima gugatan perceraian (tergugat) wajib memperoleh surat keterangan lebih dahulu dari pejabat sebelum melakukan perceraian dan Permintaan izin perceraian diajukan oleh penggugat kepada Pejabat secara tertulis melalui saluran hierarki. [3]
Dalam konteks pertanyaan Anda, kami mengasumsikan bahwa PNS tersebut adalah selaku pihak yang mau mengajukan gugatan perceraian (penggugat) sehingga ia wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat.
Kewenangan Pengadilan Agama
Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:[4]
a.    perkawinan;
b.    waris;
c.    wasiat;
d.    hibah;
e.    wakaf;
f.     zakat;
g.    infaq;
h.    shadaqah; dan
i.      ekonomi syari'ah.
Jadi, pengadilan agama berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perceraian, yakni di bidang perkawinan.
Soal keputusan izin cerai bagi PNS yang belum dikeluarkan oleh pejabat, sebenarnya ada tenggang waktu yang diberikan untuk mengurus izin yang dimaksud yaitu 3 bulan.[5]
Jadi, seharusnya PNS yang bersangkutan menunggu waktu tiga bulan sejak permohonan izin cerai ia ajukan kepada atasannya sebelum ia menggugat cerai pasangannya ke Pengadilan Agama. Ia hendaknya memastikan bahwa ia telah mengantongi izin perceraian terlebih dahulu dari pimpinannya, baru mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama.
Pengadilan Tidak Boleh Menolak Perkara yang Dilimpahkan Kepadanya
Di sisi lain, pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.[6] Ini artinya, secara hukum, pengadilan agama yang menerima pengajuan perceraian dilarang menolak memeriksa dan memutus gugatan cerai yang diminta PNS. Namun bagaimana praktiknya? Bolehkah demikian?
Bolehkah Pengadilan Agama Memutus Perceraian PNS?
Menjawab pertanyaan Anda, sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah tulisan Izin Perceraian Anggota TNI/POLRI oleh Drs. Herman Supriyadi (Wakil Ketua Pengadilan Agama Sarolangun - PTA Jambi) yang kami akses dari laman Pengadilan Tinggi Agama Jambi, PNS yang oleh Pengadilan telah diberikan waktu untuk mengurus izin namun enggan melaksanakannya ataupun telah dilaksanakannya namun tidak mendapat izin sedangkan yang bersangkutan tetap ingin bercerai, maka hal tersebut menjadi resiko dan tanggung jawab PNS itu sendiri.

Masih bersumber dari tulisan yang sama, PNS setiap mengajukan gugatan atau permohonan cerai telah mengantongi izin atasan/pejabat atau setidak-tidaknya bila diperintahkan oleh Majelis untuk menghadap atasan guna memperoleh izin segera dilaksanakannya sehingga tidak ada gubernur, bupati/walikota dan sekda atau pejabat yang berwenang lainnya ”mencak-mencak” karena anak buahnya tidak taat dalam mengurus izin perceraian.
Akibat Hukum Jika PNS Belum Memiliki Izin Cerai
Risiko hukum bagi PNS yang tidak mengantongi izin perceraian dari pejabat atau atasannya adalah dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat.[7] Namun, bagaimana jika gugatan telah sampai pengadilan namun PNS yang bersangkutan belum mengantongi izin perceraian dari pejabat?
Menjawab pertanyaan Anda lainnya, masih bersumber dari laman yang sama (dalam konteks izin cerai bagi anggota TNI/POLRI), jika gugatan atau permohonan cerai belum dilengkapi izin atasan/pejabat dimana majelis memandang surat izin atasan/pejabat yang dimaksud adalah syarat formil, maka gugatan atau permohonan tersebut menjadi cacat formil. Dalam amar putusannya dicantumkan diktum yang salah satunya berbunyi “menyatakan gugatan Penggugat atau permohonan Pemohon tidak dapat diterima atau niet ontvanklijke verklaard (NO).”
Oleh karena itu, pengadilan bisa saja menolak gugatan cerai pemohon dengan alasan pihak tidak melengkapi syarat formil gugatan. Namun bagaimana praktiknya?
Contoh Kasus
Dalam praktiknya, sebagaimana yang terdapat dalam Putusan Pengadilan Agama Jember Nomor:1159/Pdt.G/2007/PA.Jr. Melihat status Pemohon sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang belum mengantongi izin cerai dari pimpinannya, Majelis telah memberikan kesempatan kepada Pemohon untuk mendapatkan izin pejabat sebagaimana diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 ("PP 10/1983") jo. PP. 45/1990. Untuk itu sidang pemeriksaan permohonan Pemohon ditunda selama 6 (enam) bulan. Akan tetapi setelah enam bulan berjalan, ternyata Pemohon belum mendapatkan Surat Izin Perceraian dimaksud, dan Pemohon tetap berteguh melanjutkan permohonan Cerai.
Pemohon juga telah membuat Surat Pernyataan yang pada pokoknya Pemohon tetap bercerai dengan Termohon dan bersedia menanggung segala resiko dari pimpinan/pejabat atasannya. Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa ketentuan PP 10/1983 dan PP 45/1990 adalah merupakan Peraturan Disiplin Pegawai dan bukan merupakan Hukum Acara maupun Hukum Materiil dari Hukum Perkawinan (ed. wewenang hakim), maka penerapan dan pelaksanaan hal tersebut merupakan kewenangan pejabat tata usaha negara, sehingga pemeriksaan permohonan cerai talak pemohon tetap dilanjutkan.
Akhirnya, hakim memutus untuk mengabulkan permohonan Pemohon dan memberi izin Pemohon untuk mengucapkan ikrar talak terhadap Termohon di hadapan sidang Pengadilan Agama Jember.
Demikian penjelasan dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Bolehkah PNS Menjadi Direksi/Komisaris PT?
1. Bolehkah pegawai negeri sipil (PNS) memiliki saham pada suatu Perseroan Terbatas (PT)? 2. Bolehkah PNS menjadi Direksi/Komisaris pada suatu PT?  
Jawaban :

Bagi Pegawai Negeri Sipil (“PNS”) selain berlaku UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang telah diubah dengan UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (“UU Pokok-Pokok Kepegawaian”), juga berlaku peraturan mengenai disiplin PNS (Pasal 29 UU Pokok-Pokok Kepegawaian). Peraturan disiplin bagi PNS ini diatur dalam PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri (“PP 53/2010”).

Sebelum diberlakukannya PP 53/2010, peraturan disiplin bagi pegawai negeri diatur dengan PP No. 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil (“PP 30/1980”). Dalam kedua peraturan disiplin tersebut terdapat perbedaan sebagai berikut:

Larangan bagi PNS dalam PP 30/1980
Larangan bagi PNS dalam PP 53/2010
Pasal 3

(1) Setiap Pegawai Negeri Sipil dilarang:
a.      melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan atau martabat Negara, Pemerintah, atau Pegawai Negeri Sipil;
b.      menyalahgunakan wewenangnya;
c.       tanpa izin Pemerintah menjadi Pegawai atau bekerja untuk negara asing;
d.      menyalahgunakan barang-barang, uang, atau surat-surat berharga milik Negara;
e.      memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang-barang, dokumen, atau surat-surat berharga milik Negara secara tidak sah;
f.        melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan Negara;
g.      melakukan tindakan yang bersifat negatif dengan maksud membalas dendam terhadap bawahannya atau orang lain di dalam maupun diluar lingkungan kerjanya;
h.      menerima hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa saja dari siapapun juga yang diketahui atau patut dapat di duga bahwa pemberian itu bersangkutan atau mungkin bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan;
i.         memasuki tempat-tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau martabat Pegawai Negeri Sipil, kecuali untuk kepentingan jabatan;
j.        bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya;
k.       melakukan suatu tindakan atau sengaja tidak melakukan suatu tindakan yang dapat berakibat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayaninya sehingga mengakibatkan kerugian bagi pihak yang dilayani;
l.         menghalangi berjalannya tugas kedinasan;
m.     membocorkan dan atau memanfaatkan rahasia Negara yang diketahui karena kedudukan jabatan untuk kepentingan pribadi, golongan, atau pihak lain;
n.      bertindak selaku perantara bagi sesuatu pengusaha atau golongan untuk mendapatkan pekerjaan atau pesanan dari kantor/instansi Pemerintah;
o.      memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya;
p.      memiliki saham suatu perusahaan yang kegiatannya tidak berada dalam ruang lingkup kekuasaannya yang jumlah dan sifat pemilikan itu sedemikian rupa sehingga melalui pemilikan saham tersebut dapat langsung atau tidak langsung menentukan penyelenggaraan atau jalannya perusahaan;
q.      melakukan kegiatan usaha dagang baik secara resmi, maupun sambilan, menjadi direksi, pimpinan atau komisaris perusahaan swasta bagi yang berpangkat Pembina golongan ruang IV/a keatas atau yang memangku jabatan eselon I.
r.        melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun juga dalam melaksanakan tugasnya untuk kepentingan pribadi, golongan, atau pihak lain.

(2)    Pegawai Negeri Sipil yang berpangkat Penata Tingkat I golongan ruang III/d ke bawah yang akan melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf q, wajib mendapat izin tertulis dari pejabat yang berwenang.

Pasal 4

Setiap PNS dilarang:
1.      menyalahgunakan wewenang;
2.      menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau orang lain dengan menggunakan kewenangan orang lain;
3.     tanpa izin Pemerintah menjadi pegawai atau bekerja untuk negara lain dan/atau lembaga atau organisasi internasional;
4.     bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga swadaya masyarakat asing;
5.      memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang-barang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen atau surat berharga milik negara secara tidak sah;
6.      melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara;
7.      memberi atau menyanggupi akan memberi sesuatu kepada siapapun baik secara langsung atau tidak langsung dan dengan dalih apapun untuk diangkat dalam jabatan;
8.      menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapapun juga yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya;
9.      bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya;
10. melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan yang dapat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayani sehingga mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani;
11. menghalangi berjalannya tugas kedinasan;
12. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara:
a.      ikut serta sebagai pelaksana kampanye;
b.      menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS;
c.       sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS lain; dan/atau
d.      sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara;
13. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden dengan cara:
a.      membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau
b.      mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat;
14. memberikan dukungan kepada calon anggota Dewan Perwakilan Daerah atau calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara memberikan surat dukungan disertai foto kopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda Penduduk sesuai peraturan perundang-undangan; dan
15. memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dengan cara:
a.      terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah;
b.      menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye;
c.       membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau
d.      mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.


Dalam PP 30/1980 jelas dilarang bagi PNS untuk memiliki saham suatu perusahaan ataupun menjabat sebagai Direksi atau Dewan Komisaris. Namun, terkait larangan menjadi Direksi atau Dewan Komisaris ini dapat dikecualikan bagi PNS yang berpangkat Penata Tingkat I golongan ruang III/d ke bawah yang mendapat izin tertulis dari pejabat yang berwenang. Hal ini berbeda dengan pengaturan dalam PP 53/2010 yang melarang PNS bekerja untuk negara lain dan/atau lembaga atau organisasi internasional tanpa izin Pemerintah. Dalam PP 53/2010 ini PNS juga dilarang bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga swadaya masyarakat asing.

Sejak diberlakukannya PP 53/2010, PP 30/1980 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Sehingga, yang berlaku adalah ketentuan Disiplin Pegawai Negeri dalam PP 53/2010 yang di dalamnya tidak ada larangan secara tegas bagi PNS yang ingin memiliki saham atau menjadi Direksi/Dewan Komisaris suatu perusahaan.

Sementara itu, menurut Irma Devita Purnamasari dalam artikel Lagi, Ketentuan Apakah PNS Bisa Menjadi pengusaha? di irmadevita.com, kemungkinannya PNS boleh saja bila ingin menjadi pengusaha, namun tetap harus dengan seizin atasan. Hal ini karena dalam Sistem Administrasi Badan Hukum/SABH (sebagai proses permohonan untuk pengesahan badan hukum di Kementerian Hukum dan HAM RI) untuk memasukkan nama pemegang saham atau direksi yang pegawai negeri harus memakai surat izin dari atasannya. Kemudian, dalam artikel Apakah Polri dan TNI Boleh Menjadi Pengusaha? (lanjutan) Irma menulis antara lain bahwa di dalam pengajuan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) masih mensyaratkan suami/istri PNS/POLRI/TNI wajib melampirkan surat keterangan dari atasan langsung. Persyaratan ini berlaku untuk pengajuan pendirian PT, Koperasi, Perusahaan Persekutuan maupun Perusahaan Perorangan. Begitu juga untuk perusahaan pemegang SIUP yang akan membuka kantor cabang/kantor perwakilan dan perusahaan yang dibebaskan dari kepemilikan SIUP.

Jadi, PNS boleh saja memiliki saham pada suatu PT maupun menjadi Direksi/Dewan Komisaris sepanjang telah mendapatkan izin dari atasannya.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

Total Pageviews

Lokasi Pengunjung

Followers

Popular Posts

Contact Form

Name

Email *

Message *