Apakah Janda PNS yang Menikah Lagi Masih Berhak atas Tunjangan Istri?
Yth hukumonline.com. Teman saya, seorang PNS
pria beragama Islam cerai dari istrinya dan membayar tunjangan untuk
anak dan mantan istri (pembagian gaji sesuai PP 10/1983). Tetapi dia
mendapatkan informasi bahwa mantan istrinya tinggal bersama lelaki lain
yang tidak bekerja. Kata keluarga mantan istri, mereka telah menikah
tetapi secara siri (tidak terdaftar). 1. Apakah teman saya dapat
menghentikan tunjangan terhadap mantan istrinya? 2. Apakah hal ini dapat
dipakai untuk merebut hak asuh anak? (anak saat ini bersama mantan
istri) Terima kasih.
Jawaban :
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Berdasarkan
keterangan yang Anda sampaikan, kami simpulkan bahwa teman Anda sebagai
Pegawai Negeri Sipil (PNS) pria-lah yang berkehendak untuk bercerai
saat itu karena ia menyerahkan sebagian gajinya untuk mantan (bekas)
istrinya. Oleh karena itu, baginya berlaku ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil (“PP 10/1983”) sebagaimana yang telah diubah oleh Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (“PP 45/1990”) mengenai salah satu hak bekas istri PNS:
”Apabila
perceraian terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil pria maka ia
wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas istri dan
anak-anaknya.”
Jadi kewajiban untuk menyerahkan sebagian gaji tersebut hanya timbul apabila perceraian adalah atas kehendak suami.
Sedangkan mengenai pembagian gaji bekas suami tersebut, dapat dilihat pengaturannya lebih lanjut dalam Pasal 8 ayat (2) PP 10/1983 yang berbunyi:
“Pembagian gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah sepertiga untuk Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan, sepertiga untuk bekas istrinya dan sepertiga untuk anak atau anak-anaknya.”
Dengan
demikian, hak istri yang diceraikan oleh suaminya yang berstatus
sebagai PNS adalah mendapatkan sepertiga dari gaji bekas suaminya. Lalu
bagaimana jika mantan istrinya menikah lagi? Apakah ia masih berhak atas
pembagian gaji mantan suaminya yang PNS itu?
Berdasarkan Pasal 8 ayat (7) PP 45/1990, jika si bekas istri menikah lagi, maka haknya atas gaji si bekas suami menjadi hapus.
PP 45/1990 ini memang tidak menjelaskan lebih lanjut apakah “menikah
lagi” yang dimaksud di sini adalah menikah secara resmi berdasarkan
hukum negara atau hanya berdasarkan hukum agama. Namun demikian, secara
historis, PP 45/1990 dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”). Hal ini dapat dilihat di bagian ‘mengingat’ dari PP tersebut. Oleh karena itu, mengenai perkawinan, kita merujuk pada UU Perkawinan.
Perkawinan
sah yang dimaksud dalam UU Perkawinan adalah perkawinan yang dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Berangkat
dari sini, maka perkawinan yang dilakukan lagi oleh mantan istri PNS itu
haruslah perkawinan
yang sah, tidak hanya sesuai dengan hukum agama saja (nikah siri),
tetapi juga harus diakui oleh negara. Oleh karena itu, secara hukum,
teman Anda tetap berkewajiban memberikan sebagian gajinya kepada
istrinya.
Menjawab
pertanyaan Anda yang kedua, pada dasarnya hak asuh anak itu ditentukan
melalui putusan pengadilan. Hak asuh pada dasarnya harus
mempertimbangkan perkembangan spiritual anak, akan tetapi tetap dengan
mempertimbangkan faktor-faktor lain yang pada intinya bertujuan untuk
memberikan yang terbaik bagi si anak. Penjelasan lebih lanjut mengenai
hak asuh anak setelah perceraian ini dapat Anda simak dalam artikel Hak Asuh Anak dalam Perceraian Pasangan Beda Agama.
Demikian penjelasan dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
2. Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil sebagaimana terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan
Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.
Sumber : http://www.hukumonline.com
0 comments:
Post a Comment