“Pokoknya sebisa mungkin aku tidak akan mau menikah dengan orang yang kerja di bank. Aku nggak
mau kalau nanti ditinggal lembur terus.” Seperti itulah kalimat gegabah
yang keluar dari mulut saya tentang bayangan suamiku dan pekerjaannya
yang ketika itu masih bekerja di sebuah bank swasta. Saya melihat
sendiri ketika saya lembur sampai lewat tengah malam bersama para
pegawai pria yang rata – rata sudah menikah. Saya pun kemudian iseng
bertanya kepada mereka.
“Pak! Lembur terus begini memang istrinya gak ngambek, Pak?”
“Yah masa ngambek, Bek? Kan saya cari nafkah halal. Istri saya sudah paham kalau punya suami orang accounting ya begini deh. Menjelang closing harus rela tidur sama guling dulu, hehehe,” jawab bapak itu sambil berkelakar.
Beberapa tahun kemudian, doa saya pun
terjawab. Saya memang tidak berjodoh dengan orang perbankan, melainkan
seorang construction engineer. Namun apa bisa dikata, pekerjaan suami
saya ternyata menuntunya untuk pulang malam apabila sedang terlibat
dalam beberapa proyek. Terlebih lagi, saya bisa ditinggal
berminggu-minggu apabila suami saya harus melakukan business trip ke
luar kota!
Namun saya menyadari ketika saya
menerima dia sebagai suami, tentu saya harus menerima dia dengan satu
paket dari semua yang melekat pada dirinya. Lagipula dibalik jam
kerjanya yang padat, saya bangga memiliki suami seorang engineer. Saya
selalu merasakan kemudahan apabila ada barang dirumah yang rusak. Suami
saya selalu memiliki solusi untuk memperbaikinya. Selain itu ia juga
pintar hitung – hitungan!
Mengimbangi otak kanan saya yang lemah ini,
hehehe. Suami selalu berpesan kepada saya untuk selalu mendukungnya
dalam pekerjaan. Bentuk dukungan yang diminta adalah dengan menjaga dan
merawat anak – anak kami, karena saya yang memiliki waktu lebih banyak
bersama mereka dibandingkan dengan suami saya. Setiap pagi sebelum
berangkat kerja, suami seringkali meminta saya memeluknya. Ia berkata
pelukan istrinya merupakan mood booster yang paling besar bahkan mengalahkan segelas kopi baginya. Selain cerita saya, berikut ini adalah sharing story dari
sahabat The Bride Dept tentang bagaimana suka dan duka mereka dalam
mendukung profesi dan karir suami mereka. Simak untuk jadi inspirasi
kamu ya brides!
AO, 1 tahun menikah, istri seorang dokter
“Suami bertugas di IGD yang sistem kerjanya shift.
Saat dia jaga malam, jadi yah ditinggal sendirian deh di rumah. Cukup
berat situasinya apalagi dalam keadaan hamil seperti ini. Jadi istri
seorang dokter kadang membuat gw sadar, gw harus rela suami lebih
merawat orang lain dibanding diri kita. Terkadang ketika sudah sampai di
rumah ga bisa ngobrol lagi karena dia sudah terlalu lelah. Tapi positifnya, dengan jadwal kerjanya yang seperti itu bikin kita jadi bisa jalan – jalan pas weekday. Selain itu irit biaya ke dokter, kalau sakit cukup periksa ke suami saja, hehe.”
IS, 5 tahun menikah, Istri Produser TV Swasta
“Saya selalu senang ketika suami
bercerita tentang pekerjaannya. Keahlian dia memang di bidang ini dan
terlihat dia suka dengan pekerjaannya. Saya belajar banyak hal dari
pekerjaan suami.Namun jam kerjanya memang tidak bisa diprediksi. Semua
tergantung program apa yang sedang dikerjakannya. Jika sedang menangani
program yang santai maka jam kerjanya seperti karyawan biasa. Namun jika
menangani program yang cukup ribet biasanya saya harus ditinggal keluar
kota dan bahkan mengambil jadwal weekend. Saya mendukungnya dengan selalu bertanya soal perkembangan program yang sedang dia pegang.
Mengingatkan suami untuk selalu ikhlas dalam bekerja. Saya juga mencoba
untuk tidak banyak mengeluh di depannya. Kalaupun mau protes karena
ditinggal kerja keluar kota, protesnya dibikin lucu – lucuan, bukan yang
protes trus berujung ngambek dan bete. Kesimpulannya, saya bangga dengan pekerjaan suami saya.
DG, 6 tahun menikah, Istri Seorang Entrepreneur
“Di awal pernikahan, kami berdua sama – sama bekerja, lalu saya resign karena
fokus mengurus anak pertama. Saat itu kami bisa dibilang berkecukupan
dengan gaji suami saya di sebuah perusahaan telekomunikasi ternama.
Namun suami bertekad untuk mewujudkan impiannya dan memutuskan resign agar dapat fokus pada bisnisnya. Awal – awal suami merintis bisnisnya itu menjadi masa – masa dimana keuangan keluarga kami kolaps. Puji
Tuhan, saat ini bisnisnya sudah mulai berkembang dan kami mulai kembali
menata keuangan keluarga kami. Saya suka mendengar cerita suami tentang
bisnisnya yaitu dunia startup digital dimana hal itu merupakan sesuatu yang benar – benar baru buat saya. Saya senang ketika melihat suami bisa mengikuti passion-nya
dalam pekerjaan dia. Bentuk dukungan saya adalah dengan mendoakan dan
mendengarkan keluh kesahnya. Oia, sama mijitin kepalanya kalau dia lagi
pusing dan banyak pikiran, hehehe.
RT, 10 tahun menikah, Istri Seorang PNS
“Jadwal kerja suami sebagai PNS tidak
seketat di perusahaan swasta. Kadang – kadang bisa ambil cuti dadakan
misalkan ada keperluan keluarga atau anak sedang sakit. Walaupun
ditinggal namun saya senang jika suami mendapatkan tugas dinas ke luar
kota karena jadi ada tambahan pendapatan bulanan, hehehe. Namun
tantangan kehidupan sosial di kantor PNS lebih tinggi sehingga membuat
suami mudah stres, kadang saya sebagai istri suka sedih melihatnya.
Saya selalu siap support dengan bersabar kalau – kalau pendapatan sedang turun. Support doa itu pasti, biar suami selalu berada di jalan yang benar dan selalu bersabar serta dimudahkan rejekinya”
DL, 3,5 tahun menikah, Istri Seorang Karyawan BUMN
“Suami saya bekerja di bagian reporting. Kalau sedang closing di
awal bulan pulangnya bisa tengah malam bahkan pernah sampai jam 3 dini
hari. 3 bulan sekali juga suami harus menginap bersama team-nya untuk
menyelesaikan quarter report selama hari. Cara mendukung suami sangat simple, cukup dengan tidak komplain jika suami harus lembur.”
FB, 2 tahun menikah, Istri Seorang Pegawai Bank
“Suami gw tugasnya mengurus prosedur
KPR. Jadi gw kalau mau kredit rumah gampang banget prosesnya dan banyak
dapat gratisan biaya – biaya, hehehe. Tapi pulangnya selalu malam dan
dia suka cek BI checking jadi gw suka ketahuan kalau telat bayar kartu kredit. Bentuk dukungan gw untuk suami ya ga rewel sama suami, ga tanya – tanya dia mau pulang jam berapa, ga suka
ngelapor – ngelapor tentang kejadian di rumah waktu jam kerja dia. Jadi
di hari Senin – Jumat terserah dia mau kerja sampe jam berapa atau mau
main sama temannya setelah kerja, bebaaasss..”
AW, 4 tahun menikah, Istri Seorang Mahasiswa S2
“Awalnya suami bekerja di PU, namun
dia memutuskan untuk sekolah lagi setelah mendapatkan beasiswa dari
perusahaan. Memang sih waktu dia jadi cukup banyak karena berhenti
bekerja sementara. Jadi kita bisa sering – sering pacaran lagi. Tetapi
penghasilan jadi jauh berkurang, kita jungkir balik buat nutupin kebutuhan
sehari – hari. Saat dia mau berangkat ke Jerman dan butuh banyak uang
buat tes ILETS dan segala macam kebutuhan, gw sampe ngerelain sebagian
dari perhiasan gw buat digadaikan. Gw mencoba ga banyak
ngeluh, apalagi waktu itu lagi hamil muda. Satu hal lagi dukungan gw
yang paling nyata buat suami adalah dengerin cerita dia tentang
kuliahnya yang gw ga mengerti dan ga minat sama sekali. Dia kadang suka
berapi – api semangat banget cerita tentang kuliahnya dan gw sok
berusaha dengerin dengan seksama. Yaa, mungkin sama aja kaya ketika gw
lagi cerita tentang gosip artis Indonesia atau American Next Top Model,
pasti dia ga ngerti tapi terus berusaha dengerin gw.”
WW, 4 tahun menikah, Istri Seorang Programmer
“Punya suami ahli di bidang IT menyenangkan karena jadi dimudahkan segala macam urusan komputer, apalagi gw kan gaptek padahal gw dagang online. Cuma karena dia jago IT, gw berasa dihack terus.
Dia selalu tahu gw ada dimana, sudah kaya intel saja. Entah diapakan HP
gw, jadi ga bisa boong kalau jalan – jalan mulu, hehehe. Dia kalau
sudah serius sama kerjaannya pasti keliatan. Nah! kalau sudah begitu gw
ga akan ganggu sedikit pun.”
FA, 5 tahun menikah, Istri Seorang Polisi
“Polisi itu jam kerjanya ga pasti,
karena wajib berdedikasi dengan negara selama 24 jam dalam 7 hari. Suami
merintis karirnya benar – benar dari bawah. Pendapatan masih ngepas itupun
dialokasikan untuk sekolah suami. Menjadi istri dari seorang polisi
juga mewajibkan saya bergabung dalam komunitas Bhayangkari dimana kadang
membuat saya tercengang dan harus kuat mental demi mendampingi suami.
Suami saya dinas di luar Jakarta dan saya kerja di Jakarta sehingga kami
harus menjalani LDR. Pernah ketika saya sedang kangen suami dan
meneleponnya. Di sela – sela perbincangan, suami malah berteriak karena
ternyata ia sedang mengejar maling dan ada suara tembakan! Awal – awal
saya stres, lama – lama jadi terbiasa. Namun memiliki suami seorang
polisi membuat saya memiliki banyak kemudahan seperti saat membuat SIM
dan lain lain, hehehe. Saya juga jadi lebih banyak belajar tentang
hukum. Saya selalu mendoakan suami agar dia selalu diberi perlindungan
dalam menjalankan tugas. Walaupun saat ini saya belum bisa secara fisik
menemani dia bertugas disana namun saya selalu mendukung dan berusaha
mengikuti semua kegiatan yang mewajibkannya didampingi oleh istri.
Inspiratif sekali ya brides cerita
tentang bagaimana para istri – istri tersebut mendukung suaminya.
Memang benar kata pepatah “di balik kesuksesan seorang pria, selalu ada
wanita yang hebat.” Dari cerita – cerita tersebut, bisa terlihat
ternyata mendukung suami bisa dilakukan dari hal kecil ya, seperti
dengan tidak bawel dan mau bersabar dalam keeadaan apapun. Nah,
bagaimana dengan kamu brides? Apa
pekerjaan calon suami kamu? Siapkah kamu mendukung karir dan segala
impiannya? Siapkah kamu menerima suami dengan pekerjaan yang melekat
pada dirinya? Jangan cuma mau terima gajinya saja ya, hehehe.
Sumber : http://thebridedept.com
Saat ini berbagai media
ramai memberitakan tentang pusingnya pemerintah terutama Menteri
Keuangan yang tiap tahunnya harus mengalokasikan anggarannya 50% lebih
untuk menggaji para PNS diseluruh penjuru Indonesia yang jumlahnya
sekarang sangat banyak bahkan “over dosis”. Namun besarnya anggaran yang
dikeluarkan menurut banyak pihak (termasuk pihak pemerintah
sendiri,bahkan disuatu kesempatan Presiden SBY berkata sangat ngeri
melihat jumlah PNS yang ada saat ini) tidak dibarengi dengan kinerja
yang baik dan memuaskan dari para PNS-PNS tersebut. Banyaknya jumlah PNS
tidak menjadi jaminan perbaikan pelayanan Birokrasi Pemerintah semakin
membaik, yang ada tetap banyak masyarakat yang mengeluhkan buruknya
Birokrasi di negeri tercinta ini.
Dan inilah pendapat dan pengalaman saya pribadi. Di Indonesia PNS adalah
fenomena yang sangat menarik,baik bagi para pelakunya sendiri maupun
para penonton seperti saya. Selain sebuah fenomena PNS juga suatu
problem yang sangat kompleks yang meski untuk menyelesaikan problem
tersebut pemerintah mendatangkan ratusan tenaga ahli belum tentu problem
tersebut dapat tuntas (berhasil) 100%. Ah…tapi kita tidak boleh pesimis
dengan kemampuan MenKeu, MenDagri, MenPAN yang sedang berusaha keras
menyelesaikan masalah ini dengan Program Moratorium nya, Program Pensiun
Dini nya dan lain-lain.
Tahun 1987 saat pertama kali hijrah ke Kalsel dan tinggal di Kab.Tanah
Laut Pelaihari keadaan disana masih sangat sepi dan belum
berkembang,kegiatan ekonomi masih sepi. Belum ada pertambangan,
perdagangan masih kecil skalanya. Penduduk masih sedikit (tidak padat),
meski sudah banyak warga Transmigrasi dari Jawa yang menghuni desa-desa
pedalaman dan mayoritas bertani. Sedangkan untuk daerah kota Kabupaten
Tanah Laut yang terpusat di Kecamatan Pelaihari dihuni mayoritas
penduduk asli plus pendatang/perantau “Intelek” yaitu orang-orang yang
mendarat kedaerah ini karena statusnya sebagai pegawai Pemerintah
(PNS,TNI dan POLRI).
Seperti kita tahu pada masa ORBA untuk pemerataan pembangunan seluruh
wilayah Indonesia salah satu sistem yang diterapkan adalah
mengirim/menukar para pegawai/calon pegawai dari satu daerah kedaerah
lain. Atau populer dengan sebutan PTT, dimana seseorang untuk diangkat
jadi PNS harus menjalani penugasan yang bisa dikatakan sebagai masa
percobaan dan pelatihan sekian tahun diberbagai pelosok daerah. Jadi
tidak heran mayoritas tetangga tempat saya tinggal dulu adalah pendatang
dengan Profesi Pegawai Pemerintah. Saya juga ingat salah satu guru SDN
saya adalah orang asli Bandung. Selain para pendatang “intelek” ini yang
jumlahnya masih minim, posisi PNS didominasi oleh warga asli Kalsel.
Mayoritas masyarakat asli Kalimantan mempunyai jiwa “bossy”, yang
berprinsip dalam menentukan masa depan “kerja tidak mau diperintah”.
Bagi yang kaya dan punya modal mereka cenderung menggeluti
perdagangan/bisnis meski kecil tapi milik sendiri dan tidak jadi pesuruh
orang. Bagi yang modalnya pas-pasan sudah pasti cita-citanya adalah
PNS, meski memiliki pimpinan di kantor tapi hanya seperti formalitas
belaka. Seorang Pimpinan atau Kepala Dinas hanya pemimpin kerja bukan
orang yang bisa menentukan masa depan seorang PNS secara menyeluruh,
misal masalah kenaikan pangkat, kenaikan gaji dan lain-lain. Yang
menentukan itu semua adalah UU PNS, meski seorang PNS berkelakuan buruk,
sering bolos Kepala Dinas tetap tidak punya hak untuk memecatnya atau
menahan gajinya misalnya. Paling banter cuma menegur secara halus.
Pada tahun 1980-1990 an gaji PNS masih sangat minim,bahkan jauh dari
sejahtera dan tercukupi, setiap PNS harus punya sambilan lain untuk
mencukupi kebutuhan keluarganya. Tapi hal ini tidak menyurutkan minat
banyak orang untuk berlomba-lomba mencari kesempatan dan lowongan
sebagai Pegawai Pemerintah. Bahkan sebagian besar rela merogoh kocek
jutaan rupiah untuk mendapatkan satu posisi yang diinginkan. Dan yang
menarik mayoritas peminat ini adalah :
Uang pensiun, kita semua tahu PNS,TNI dan POLRI setelah habis masa
kerja akan tetap mendapat jatah bulanan dari pemerintah sebagai tanda
terima kasih atas pengabdiannya selama ini. Meski jumlahnya kecil tapi
lumayan untuk menambah biaya hidup dihari tua, kalau tidak jadi Pegawai
Pemerintah siapa yang mau memberi uang cuma-cuma pada orang yang tidak
kerja? (ini adalah pendapat nyata yang keluar dari mulut para orang yang
menjalaninya, bukan rekayasa saya sebagai penulis) bahkan ini pula yang
diucapkan dan ditanamkan oleh keluarga (kakak-kakak dan ibu saya) pada
saya, bahkan bisa dibilang hampir menyerupai doktrin tapi sayangnya
tidak nyantol diotak saya.
Tapi cukup berhasil pada para ponakan saya dimana mereka sekarang
sedang berjuang untuk bisa jadi PNS yaitu sebagai guru. Menurut istilah
ibu saya Pegawai Pemerintah itu ibarat pohon adalah pohon kering yang
terlihat ringkih tapi berakar kuat yang meski ada badai dan angin
kencang tidak akan pernah tumbang, berbada dengan sektor swasta yang
sebaliknya. Pohon dengan dahan besar,daun lebat dan buah ranum tapi
akarnya tidak kuat yang bisa roboh kapan saja diterjang angin dan badai
(dan ini nyata ucapan dan istilah dari ibu saya)
Longgarnya waktu dan sanksi, sudah jadi rahasia umum banyak Pegawai
Pemerintah yang sering melanggar peraturan dalam masalah waktu. Datang
siang pulang paling duluan bukan hal baru. Tidak adanya target, sanksi
kesalahan yang penuh toleransi dan lain sebagainya membuat para Pegawai
Pemerintah bersikap semau gue. Meski beberapa daerah ada yang berusaha
mengontrol kedisiplinan dengan melakukan razia yang dilakukan SATPOL PP,
sepertinya efek jera hanya sesaat. Jika anda bertanya pada para PNS-PNS
muda dan baru yang ada sekarang kenapa mereka jadi PNS jawabanya tidak
jauh dari “jadi PNS enak,waktu kerjanya tidak ketat (datang
terlambat,pulang cepat tidak masalah), pekerjaanya santai (tidak ada
target), meski absen kosong (tidak hadir karena sakit atau alasan
tertentu) gaji tidak dipotong.
Gaji 13 tiap tahun dapat, apalgi sekarang PNS sangat diperhatikan
oleh pemerintah (gaji naik tiap tahun tanpa melihat hasil/prestasi
kerja) dan lain-lain” yang kalau disebutkan semua halaman ini tidak akan
sanggup menampungnya. Sudah hal lumrah kita melihat pegawai datang
telat, apalagi guru. Terutama guru, guru SMP dan SMA yang bisa dengan
mudah maminta pada petugas pembuat jadwal untuk dibuatkan jadwal
sesantai mungkin. Dimana satu guru mata pelajaran mengajar lima kelas,
minta tolong supaya diatur jadwalnya sepadat mungkin dari hari senin
hingga kamis, jadi jum’at sabtu dia tidak perlu hadir kesekolah karena
tidak ada jadwal mengajar. Atau mereka saling bertukar jadwal supaya
bisa pulang cepat dan datang lebih siang jadi lebih santai. Dan itu hal
biasa toh gajinya tidak akan dipotong absensinya yang kosong, dan yang
terpenting tidak ada yang memlototi mereka karena terlambat, beda dengan
di perusahaan swasta. Ini juga bukan karangan sebagai penulis,tapi
pengalaman nyata yang saya lihat sendiri mulai jaman saya sekolah sampai
sekarang saat sebagian besar teman saya banyak yang menjalaninya.
Saat saya pulang ke Kalsel tahun lalu saya reuni kecil dengan
beberapa teman-teman yang mayoritas sudah jadi PNS sisegala bidang.
Ditengah obrolan hampir semua dari mereka mengucapkan kalimat diatas
sebagai rasa bangga mereka kenapa menjatuhkan profesi pilihan sebagai
PNS.
Perekrutan yang semakin mudah, dimana sejak otonomi daerah banyak
daerah yang kaya dengan SDA yang melimpah melepaskan diri untuk mandiri
menjadi Provinsi atau Kabupaten sendiri sehingga membutuhkan SDM-SDM
baru untuk menempati berbagai posisi distruktur pemerintahan. Hal ini
pula yang sebenarnya memicu banyaknya ketidakseimbangan jumlah
PNS.Daerah baru tersebet mayoritas masih berada dipelosok atau
pedalaman. Banyak lulusan terbaru yang masih muda dari berbagai
Universitas dan berbagai jurusan menyerbu daerah baru supaya kans
diterima lebih besar karena lowongan yang dibuka lebih banyak.
Namun bagi sebagian besar orang-orang ini hal tersebut justru
dianggap sebagai batu loncatan, begitu lolos dan resmi jadi PNS beerapa
tahun kemudian mereka akan berbondong-bondong mengurus/mengajukan pindah
kedaerah kota dengan berbagai cara,bahkan termasuk menyogok pegawai BKD
yang menangani berkas mereka agar segera memproses berkas mereka dengan
cepat. Apalagi bagi PNS wanita hal ini akan lebih mudah,hanya dengan
mencantumkan alas an “MENGIKUTI SUAMI” diberkas permohonan pindah
mereka. Karena itu tak heran jika penyebarab PNS tidak merata. Meski
didokumen perjanjian awal yang ditanda tangani oleh peserta saat para
PNS ini diterima ada pasal yang berbunyi bahwa boleh mengajukan pindah
tugas, pengunduran diri atau pensiun dini dalam waktu minimal 10 tahun
masa tugas, namun sepertinya ini hanya formalitas (seperti kata banyak
orang bahwa di Negara kita peraturan dibuat untuk dialanggar).
Masih kuatnya nepotisme di Negara kita. Dimana hal ini juga
berdampak pada rendahnya kwalitas para PNS yang ada. Hal ini dapat
dilihat dari banyaknya tenaga honor disetiap instansi,padahal SDM yang
mengisi posisi tersebut pendidikannya terkadang tidak sesuai dengan yang
posisi yang ditempatinya.
Terakhir pulang ke Kalsel tahun lalu saya bertemu dengan seorang
teman SMA yang jadi tenaga honor disebuah SDN,waktu saya Tanya kok bisa
padahal dia Cuma lulusan SMa, dan jawabannya adalah karena KEPSEK nya
adalah mertuanya, dan supaya mempermudah jalannaya suatu hari nanti
menuju kursi PNS sekarang sambil honor dia kuliah di Universitas “GELAR”
(ini istilah saya pembaca) jurusan PGSD, yaitu Universitas cabang dari
sebuah Universitas yang ada di Ibu Kota Banjarmasin yang belajarnya
hanya satu bulan sekali paling banyak 2 kali pertemuan hari sabtu dan
minggu yang ruang kuliahnya biasanya menyewa ruangan menganggur yang ada
dilingkungan sekitar, bahkan kadang berpindah-pindah, mulai dari ruang
kelas SD-SD yang ada, bulan depan kemudian sebuah ruang dari sebuah
gedung serba guna dan lain-lain.
Ada lagi seorang teman SMA saya yang kuliah jurusan Arsitektur,
melamar kerja sana-sini tidak beruntung, akhirnya menyerah dan mengikuti
anjuran ayahnya yang mantan pejabat untuk honor disebuah insntansi
pemerintah yang jauh melenceng dari jurusanya dengan koneksi si ayah
yang kenal baik dengan si Kepala Dinas,meski dia tidak bisa jadi PNS
melalui pengajuan langsung (diangkat karena sudah honor lama) karena
jurusannya yang tidak sesuai dengan instansi tersebut tapi bukankah ini
sudah bisa dikatakan tidak efektif dan efisien dalam berbagai
aspek,terutama dalam hal gaji yang jadi beban APBN/BD. Absen tidak
terlalu penting, yang penting saat ujian datang, uang semester dan
administrasi lunas, mengumpulkan skripsi (yang sebagian besar
beli/membayar orang untuk membuatnya,bahkan yang menyarankan dan menjadi
calo adalah orang-orang dari Universitas tersebut kemana para mahasiswa
“eksklusif” ini harus datang) maka waktu lulus mereka akan dapat ijasah
yang akan diajukan sebagai salah satu syarat pengangkatan mereka
sebagai PNS setelah sekian tahun jadi tenaga honor.
Tidak hanya tenaga honor, tapi bagi sebagian orang yang berduit dan
tidak mau ribet kuliah rutin tapi mereka bercita-cita jadi PNS yang
syaratnya adalah ijasah S1 maka ini adalah pilihan yang bagus dan
menyenangkan. Jadi jangan heran banyak masyarakat sekarang mengeluhkan
kwalitas pendidikan, buruknya pelayanan public dan sebagainya, menurut
saya salah satu penyebabnya adalah hal ini, yang mana para SDM yang
menduduki instansi pemerintah adalah mayoritas yang terbentu karena
uang, dan tujuan utama mereka jadi PNS pun karena uang. Dimana tidak ada
penyeleksian kwalitas ijasah, yang penting S1, sesuai jurusan yang
dicari (beda dengan sektor swasta yang saya tahu ada beberapa perusahaan
yang berani mencantumkan lulusan Universitas mana saja yang akan mereka
terima dan lulusan mana saja yang mereka tolak dalam iklan lowongan
kerja mereka dimedia cetak). Seperti salah seorang teman SMP saya juga
yang tidak menamatkan pendidikan SMPnya tapi bisa jadi seorang Bintara
POLRI, ternyata belakangan dia mengaku Ijasah SMP dan SMAnya dia beli
dari sekolah Paket B dan C, saat daftar Bintara POLRI orang tuanya
lagi-lagi menggelontorkan uang hampir 50 juta untuk meloloskannya,
sangat fantastis bukan?
Untuk hal ini saya rasa sudah bukan rahasia lagi, bahkan sekarang saya
punya tetangga yang memang berbisnis ini, seorang TNI senior dengan
pangkat Kopral tapi koneksinya dimana-mana tiap tahunnya dia mencaloi
beberapa pemuda yang orang tuanya mampu menggelontorkan uang puluhan
juta untuk anaknya lulus sebagai TNI. Jadi tiap musim pendaftaran TNI
tiba kita bisa melihat beberapa anak muda seliweran datang karumahnya
bahkan sampai membantu pekerjaan rumah tangga seperti nyuci mobil,
motor, kursi dan lain-lain milik si TNI.
Saya tidak begitu akrab dengan keluarga si TNI karena tergolong orang
baru dilingkungan sini, tapi saya dengar hal ini dari tetangga saya lain
yang bergaul akrab dengan si istri TNI yang cukup terbuka dan bangga
dengan profesi tambahan suaminya tersebut karena dari profesi ini mereka
dapat tamabahan biaya hidup yang lumayan untuk menjadikan mereka
sebagai keluarga dengan predikat orang kaya dilingkungan tempat saya
tinggal karena selain rumah yang ditinggalinya mereka juga punya
beberapa rumah yang dikontrakan. Dengan gaji Kopral tanpa menjalankan
bisnis tambahan yang nyata (seperti berniaga dan lain-lain, karena
sepengetahuan saya istrinya hanya ibu rumah tangga tulen,si TNI pulang
dinas juga hanya duduk santai dirumah dan nongkrong ngobrol dengan para
tetangga) apakah wajar jika seseorang bisa punya kekayaan yang demikian?
Sedangkan di Instansi Pemerintah pekerjaan tenaga honor apa terkadang
juga tidak pasti, tiap hari datang dengan seragam dinas tapi terkadang
dikantor hanya duduk-duduk,membuatkan teh atau jadi pesuruh para senior
(pegawai lama yang sudah resmi berstatus PNS), sudah hampir seperti OB.
Salah satu ponakan saya yang jadi tenaga honor dikantor BPMD malah
mengerjakan pekerjaan para PNS tetap,sedangkan si PNS santai menunggu
waktu istirahat, sore pulang, yang penting kekantor dan absen terisi.
Tapi bagi sebagian besar orang tidak masalah honor dengan kondisi
demikian yang penting suatu saat mereka direkomendasikan dan diangkat
untuk jadi PNS resmi yang berarti meski tidak banyak yang uangnya tapi
terjamin sampai akhir hayatnya. Bahkan ada juga teman saya dari lulus
SMA honor dikantor PKk yang berarti tahun ini masuk tahun ke 10 nya jadi
tenaga honor dan sudah dalam tahap proses menjadi PNS,dan pekerjaan
utamanya selama 10 tahun ini adalah membawa payung ketua PKK Kabupaten
(istri Bupati) dalam setiap kegiatan si ibu Bupati. Tiap ibu Bupati
turun dari mobil, teman saya langsung dengan sigapnya membuka payung dan
mengikuti dibelakang si ibu sampai ketempat tujuan. Kunjungan lapangan
maka teman saya lagi-lagi akan jadi buntut si ibu Ketua PKK sampai
selasai dengan payungnya.
Bagi saya itu adalah hal yang menggelikan, tapi bagi teman saya itu
adalah hal yang membanggakan (yang terlihat sangat jelas diwajahnya saat
dia menceritakan hal ini pada saya saat kami bertemu tahun
lalu),apalagi saat ibu Bupati periode ini menyuruhnya menyiapkan berkas
untuk diajukan ke BKD untuk diproses menjadi PNS golongan 1A (golongan
terendah untuk lulusan SMA) atas rekomendasi si ibu Bupati, dan yang
memasukan teman saya jadi tenaga honor di kantor PKK tersebut adalah
bibinya yang sudah jadi PNS duluan alias PNS kawakan. Jadi jangan heran
juga ada seorang anak pintar yang menyatakan malas sekolah dan berkata
ijasah itu hanya formalitas, seperti tetangga kita itu sekolah dan
kuliah ditempat “ecek-ecek” bisa jadi PNS dan Polisi.
Jadi sekarang aku mau kerja saja nanti kalau sudah dapat gaji pertama
yang aku lakukan adalah ikut ujian Paket C yang disini biayanya 600rb
bereskan? Toh tujuan sekolah suatu saat adalah untuk dapat kerja yang
menghasilkan uang, yang mana kita menggunakan ijasahnya untuk mencari
kerja yang sesuai dengan tingkat pendidikan kita!!?? (ini adalah ucapan
yang keluar dari mulut ponakan saya yang tinggal disalah satu k
abupaten
di Jatim, yang sekarang dia tidak mau melanjutkan pendidikannya yang
tinggal satu tahun lagi di STM dengan alasan bosan belajar) bahkan salah
satu sepupu saya menyuruh saya untuk ikut membujuk si anak supaya mau
sekolah lagi karena menurut gurunya yang berkunjung kerumah, ponakan
saya tergolong anak cerdas, tapi gagal dia tetap pada pendiriannya.
Saya sampai lumayan kaget mendengar jawaban dia, karena yang
dijadikannya patokan adalah keberadaan PNS, meski tidak semua demikian
tapi ternyata pandangan sebagian besar orang sudah sangat-sangat buruk.
Karena waktu saya tanya apakah dia juga berminat untuk jadi PNS
jawabanya adalah tidak. Bagi saya suatu contoh ironi yang buruk dan
aneh, tidak minat jadi PNS tapi tertarik dengan pola buruknya untuk
ditiru. Jadi yang buruk PNSnya apa si anak yang pikirannya kritis ini
ya??? Saya sampai bingung sendiri.
Sejak SBY menjabat poin ini adalah poin yang sangat berperan besar
dalam menarik minat masyarakat untuk berbondong-bondong menjadi PNS,
meningkatnya secara terus-menerus gaji PNS setiap tahunnya. Sebelum
tahun 2000 dengan gaji yang relatif kecil dan jauh dari kata sejahtera
saja sudah banyak masyarakat yang mati-matian untuk jadi PNS, apalagi
sekarang yang dengan alasan kesejahteraan, mengurangi korupsi,
meningkatkan kinerja (yang mana sampai sekarang korupsi dan peningkatan
kinerja tetap belum terlihat adanya perubahan kearah yang lebih baik)
tiap tahun SBY terus meningkatkan gaji pokok para PNS ditambah tunjangan
sana-sini dalam satu bulan sekarang gaji yang didapat sangat lumayan.
Remunerasi sana-sini (POLRI, TNI,DEPKEU dan lain-lain),
memberlakukan system Sertifikasi (yang akan menjadikan guru menerima 2x
gaji pokok sebelum plus tunjangan) dan program-program lain ternyata
tidak banyak mengubah keadaan. Yang ada justru makin nyata terlihat
buruknya kwalitas para pegawai pemerintah yang ada. Dimana tiap bulannya
meraka selalu dipenuhi pikiran “keluar tidak ya tunjangan daerah bulan
ini?” atau berusaha memenuhi standar Sertifikasi dengan berbagai cara
tanpa memperhatikan kwalitas kerja. Yang mana saat ini tujuan SBY
menaikan gaji pegawai pemerintahannya mulai dipertanyakan oleh sebagian
kalangan yang menganggap tindakan ini adalah “kampanye terselubung” agar
para PNS dan istri/suami para TNI/POLRI yang memiliki hak pilih di
Pemilu tetap memilihnya (tulisan seorang Kompasianer yang saya lupa
namanya, yang menyarankan agar hak pilih PNS dicabut). Dan saya setuju
dengan pendapat ini, karena ini memang sangat berpengaruh, dimana bicara
dengan salah seorang saudara yang seorang guru SD dan sudah jadi PNS
sejak tahun 1985 jadi sudah merasakan pahit getirnya menjadi seorang
PNS.
Dia berpendapat merasakan enaknya jadi PNS sejak pemerintahan SBY
dan mendorong anaknya (sebut saja Rio) untuk ikut jejaknya jadi guru
karena sekarang guru sangat “diperhatikusan”. Dan keinginan ini dituruti
oleh Rio yang jadi guru olah raga disalah satu SMA di Mojokerto (saya
sangat mengapresiasi,bukan karena dia saudara saya tapi karena Rio
memang orang idealis dan berkwalitas, masuk UNESA jurusan Olah raga
tanpa tes tapi karena prestasinya dibidang Olah raga semasa SD-SMA,
waktu lulus SMA ditawari seorang saudara yang seorang POLWAN yang
bertugas di Penerimaan Bintara Baru POLDA Jatim, kalau Rio mau bisa
dipastikan 99% dia lulus. Tapi dia menolak, dan jawabannya “Polisi
terlalu buruk imagenya di masyarakat dan sering dapat sumpah buruk
masyarakat dan aku tidak mau jadi bagian dari itu”). Lulus dari UNESA
dengan gelar Spd dia menolak tawaran honor dari banyak sekolah,lebih
memilih kerja diswasta. Hingga tahun 2007 dia memutuskan ikut tes
terbuka CPNS untuk daerah Mojokerto sebagai peserta tes dengan hasil tes
terbaik, dan saya pernah bermimpi seandainya saja semua PNS di Idonesia
seperti dia pasti kita jadi Negara hebat.
Karena meski sudah jadi PNS sikap idealisnya tetap bagus, dimana
saat bicara tentang Politik dia tidak menurun sikap ibunya yang memuja
SBY dan pemerintahannya yang banyak dilakukan para PNS lainnya dinegeri
ini yang bahagia dengan kenaikan gaji tiap tahunnya, baginya Politik
tetaplah Politik yang dipenuhi intrik dan taktik, dan dia segolongan
dengan saya yaitu GOLPUT. Tapi sayangnya mimpi saya mustahil. Dalam
sastu kesempatan SBY dalam pidatonya ngeri melihat jumlah PNS yang
sangat banyak dan menyerap APBN yang besar padahal yang menjadikan hal
ini terjadi adalah beliau sendiri, apa tidak sadar ya? Makanya saya
tidak menyalahkan para kritikus dan masyarakat yang menyebut pemerintah
SBY jago bahasa bibir.
Uraian saya hanya sebagian kecil dari banyaknya masalah yang membelit
Indonesia pada Pagawai Pemerintahannya,dan saya yakin pembaca lain punya
pendapat lain juga baik yang pro maupun kontra. Saya juga tahu bahwa
dari sekian banyak jumlah Pegawai Pemerintah masih ada yang berjiwa baik
dan idealis yang terkadang memberikan rasa simpati tersendiri pada
golongan ini karena image baik mereka tertutup oleh pendapat sebagian
besar masyarakat yang memukul rata pandangan buruk mereka tentang
Pegawai Pemerintah.
Saya juga sebenarnya tidak kontra 100% pada kebijakan remunerasi,
kenaikan gaji tiap tahun, gaji ke 13 dan lain-lain karena saya sangat
tahu bagaimana kehidupan para Pegawai Pemerintah sepuluh tahun lebih
yang lalu karena kakak saya adalah seorang TNI angkatan tahun 1990 yang
sempat merasakan betapa berat hidup dengan gaji yang hanya berkisar 200
ribuan saja perbulan pada saat itu (tapi kakak saya tergolong TNI yang
idealis lo, dilain kesempatan akan saya tulis kisah hidupnya yang bagi
pribadi saya sangat inspiratif). Juga tetangga saya di Kalsel yang
seorang anggota POLRI dari tahun 1987 tapi baru bisa bangun rumah saat
ini, itu belum jadi 100% (membangunya dicicil istilahnya, menunggu
tabungan cukup) karena dia adalah salah satu Polisi idealis yang
terkenal sangat jujur dan hidup hanya mengandalkan gaji murni, dan
belakangan saya tahu ternyata beliau punya basic pendidikan pendeta
makanya sangat taat dan menerapkan ajaran agamanya. Tentu kenaikan gaji
adalah salah satu jalan bagi mereka untuk meningkatkan kesejahteraan
hidup.
Namun seharusnya hal ini juga dibarengi dengan aturan-aturan tambahan
dan pengawasan yang lebih ketat lagi dari pemerintah agar hasil yang
dicapai maksimal. Misalkan tidak ada salahnya kita mengadopsi peraturan
swasta tentang absen, tidak masuk tanpa alasan jelas potong gaji. Hasil
kerja kurang maksimal atau terlihat ada kekelorotan kinerja,atau target
tidak tercapai tunjangan/intensif tidak ada. Saya pernah baca berita di
kompas.com bahwa KPK memotong gaji peagawainya yang tidak masuk setelah
libur (lupa link nya) saya rasa itu sudah cukup bagus dan patut dicontoh
instansi lain.
Tapi kalau bisa tidak hanya bolos setelah libur panjang gajinya
dipotong, tapi diterapkan seterusnya. Karena apapun yang berhubungan
dengan uang biasanya sangat efektif untuk menerapkan peraturan. Tapi
satu hal yang pasti adalah peraturan dan hukum dibuat untuk dilaksanakan
bukan untuk dilanggar. Tentang KKN, percaloan dan sebagainya saya rasa
pendapat dan masukan dari para ahli yang sering saya tonton di TV
nasional seperti para anggota ICW, LSM-LSM lain, praktisi hukum,
praktisi pendidikan dan lain-lain sudah sangat banyak dan bagus tinggal
pemerintah saja mau menerima masukan dan pendapat tersebut atau tidak,
atau tetap pada sikap arogansinya selama ini setiap ada masalah selalu
menyalahkan media sebagai biang kisruhnya karena dianggap selalu
memojokan Pemerintah dan membesar-besarkan setiap masalah yang ada
selama ini.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sumarti_saelan/kisah-para-pegawai-pemerintah-pns-tni-dan-polri_55087c2ca333115e312e395b
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/sumarti_saelan/kisah-para-pegawai-pemerintah-pns-tni-dan-polri_55087c2ca333115e312e395b
0 comments:
Post a Comment