Mahi M. Hikmat
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus beberapa point
persyaratan kepala daerah pada UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada tidak
hanya memberikan kewajiban perbaikan bagi KPU menyusun Peraturan KPU
baru. Namun, menyadarkan rakyat akan pentingnya perlindungan hak
konstitusi warga yang nyata-nyata “dilanggar”. Jangan sampai karena
kepentingan politik tertentu, warga kehilangan hak politiknya; karena
ketidakmampuan penyelenggara, hak memilih atau dipilih warga dipangkas.
Padahal The International Covenant on Civil and Political Rights
(ICPR) atau Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pun
sudah menegaskan, siapapun berhak berpolitik. Hal itu sejalan dengan isi
konstitusi Indonesia UUD 1945. Namun, sejumlah peraturan perundangan
politik justru menyekat hak politik sejumlah warga. UU Pilkada masih
melakukan pembatasan hak politik PNS (hak dipilih: mencalonkan harus
mengundurkan diri dari PNS-nya), anggota TNI, Polri dan mantan
narapidana yang telah lama kehilangan hak memilih dan dipilihnya plus
larangan bagi keluarga petahana.
Namun dari masalah pembatasan dan/atau pelarangan hak politk warga
tersebut, MK hanya membatalkan dua hak politik. Pertama, MK telah
mencabut larangan keluarga petahana yang akan maju dalam Pilkada. UU
Pilkada mengatur larangan keluarga petahana untuk maju dalam Pilkada,
tetapi MK mencabut pasal itu karena dianggap melanggar hak konstitusi.
Kedua, UU Pilkada mengatur mantan narapidana yang akan maju harus
menjalani masa bebas selama lima tahun. Setelah itu, yang bersangkutan
bisa mendaftar. Namun MK membatalkan aturan tersebut karena dianggap
melanggar hak konstitusi. Putusan MK, mantan narapidana boleh langsung
mendaftar sebagai calon kepala daerah setelah yang bersangkutan bebas
menjalani hukuman, tetapi harus mengumumkan kepada publik bahwa dirinya
mantan narapidana. Jika tidak, ia harus menjalani dulu masa
kebebasannya selama lima tahun.
Lalu, apa kabar dengan hak politik, PNS, TNI, dan Polri? Padahal
mereka pun warga negara seperti halnya keluarga petahana dan mantan
narapidana. Hingga pesta demokrasi 2014, bahkan dalam UU Pilkada
“serentak”, dan dalam Putusan MK, masalah hak politik mereka tidak
pernah “disentuh”. Hak politik mereka tetap dibatasi dan/atau dilarang.
Bahkan, tatkala sejumlah UU politik berganti menuju pada sukses sejumlah
pesta demokrasi, hak politik mereka sepi dari perhelatan. Padahal,
beberapa tahun ke belakang, mereka para pendekar berjanji untuk
memperbaiki hak politik PNS, TNI, dan Polri sehingga mengarah pada
pelaksanaan demokrasi yang ideal.
Justru yang berkembangbiak, hampir pada semua pesta demokrasi
menuntut PNS, TNI, dan Polri netral. Tuntutan netralitas TNI &
Polri tampak logis karena belum diberikan hak memilih maupun dipilih.
Tuntutan netralitas PNS tidak logis karena satu sisi diberikan hak
memilih, sisi lain tidak boleh berpihak. Bahkan sisi lainnya, hak
dipilih PNS dibatasi. Padahal, PNS juga warga negara yang sejatinya
memiliki hak politik sama seperti warga negara lainnya untuk mencalonkan
jadi kepala daerah tanpa harus kehilangan “masa depan” berkarier
kembali menjadi PNS jika ternyata kalah. []
Sumber, Pikiran Rakyat 30 Juli 2015.
0 comments:
Post a Comment