Tulisan ini saya buat tidak untuk menyalahkan atau menuding siapa pun, ini adalah sekedar curhat seorang istri
Gara-gara Gayus Tambunan, akhir-akhir ini kalau melihat tayangan
berita di televisi rasanya hati tergelitik, ingin ikut berkomentar, tapi
suami selalu melarang saya untuk berkomentar, “Biarin aja Bu, orang mau
bilang apa, jangan terpancing”.
Kebetulan suami saya adalah seorang pegawai pajak. Dan kebetulan
pegawai pajak yang satu ini nggak seperti kebanyakan pegawai pajak yang
lain, yang katanya (katanya loh ya!) gaya hidupnya ‘wah’, dst, dst.
Saya pernah bekerja di sebuah perusahaan swasta asing yang juga
berurusan dengan perpajakan, saya tau bagaimana ‘berurusan’ dengan
pegawai pajak. Banyak omongan miring tentang pegawai pajak. Mendengarnya
saya sering khawatir, takut suami saya ikut-ikutan seperti itu, makanya
saya selalu cerewet mengingatkan suami untuk tidak berbuat pelanggaran.
(baca : korupsi)
Selama menjadi istri pegawai pajak, alhamdulillah saya merasa hidup
saya berkecukupan. Punya dua anak laki-laki yang pintar dan lucu, punya
suami penyabar, dan keluarga besar yang selalu mendukung kami. Memiliki
kendaraan (hasil mengangsur, ketika saya masih bekerja), bisa
menyekolahkan anak, tinggal di tempat tinggal yang layak (kami masih
‘menumpang’ di rumah ortu, punya rumah di bintaro pun itu dibeli dengan
uang ortu). Kurang apa lagi?? Rasanya sudah cukup dan bersyukur sekali
atas apa yang telah saya dapatkan sekarang ini.
Saya baru tau kalau yang namanya hidup berkecukupan ala pegawai pajak
itu ternyata jauh banget dari ala saya. Ini juga taunya dari televisi,
ketika kasusnya Gayus mencuat. Punya rumah mewah, mobil
mewah….wah…wah…wah…
Ooo…itu toh yang namanya berkecukupan, berarti saya ini apa donk?
Belum satu tahun saya akhirnya menyusul ke Jakarta tinggal bersama
dengan suami menjadi satu keluarga yang utuh. Sebelumnya, selama 5 tahun
sejak saya hamil anak pertama, kami tinggal pisah kota, suami di
Jakarta dan saya di Bandung. Alasannya karena ketika baru menikah suami
saya baru diangkat menjadi PNS, tau sendiri berapa gajinya. Kebetulan
saya mendapat tawaran bekerja di Bandung, kesempatan ini tidak kami
sia-siakan. Selama 5 tahun saya bekerja sambil ‘nebeng’ di rumah ortu.
Selama itu pulalah kami berdua menabung seperak demi seperak, untuk
memperkuat fondasi keuangan rumah tangga kami, sampai akhirnya tiba
waktunya saya berhenti dari kerja dan bersama anak-anak tinggal di
Jakarta dengan suami.
Kini, saya sudah tidak lagi bekerja, otomatis uang hanya dari satu
keran, yaitu dari suami. Hidup di kota metropolitan terasa mahal,
apalagi sekarang saya sudah tidak bekerja, sudah tidak ‘nebeng’ dengan
ortu.
Suami saya berubah menjadi ‘Paman Gober’ yang irit dan sangat
perhitungan. Untungnya saya masih ada bekal ‘pesangon’ yang diberikan
dari perusahaan tempat saya kerja dulu, jadi kalau mau jajan-jajan masih
bisa. Sekarang kami tidak punya pembantu, karena kalau pakai pembantu
otomatis ada pengeluaran tambahan. Suami saya nggak doyan makan-makan di
luar, malah beberapa minggu yang lalu ia sempat mengajukan usul,
“Setiap minggu kita jalan-jalan, tapi untuk makan harus bawa bekal dari
rumah atau sebelum berangkat harus makan dulu di rumah.” Dia orangnya
amat sangat hidup sederhana, meskipun sekarang jaman BlackBerry…tapi dia
dan saya tidak menggunakannya, karena memakaiBB itu harus mengeluarkan
biaya. Oh iya setiap hari suami saya membawa bekal sarapan pagi dan
makan siang, saya yang memasaknya di rumah, maksudnya tak lain dan tak
bukan karena untuk PENGHEMATAN…(dasar Paman Gober ya!).
Bertapa sedihnya saya karena akhir-akhir ini pekerjaan suami
dijelek-jelekkan oleh banyak orang. Suami saya termasuk pegawai yang
berdedikasi tinggi , bertanggung jawab dan jujur. Karena menurutnya
bekerja adalah ibadah untuk mencari ridho Allah SWT. Beberapa waktu yang
lalu, suami saya sakit, sampai tidak bisa berjalan. Istri mana yang
tidak sedih dan khawatir melihat kondisi suaminya yang seperti itu.
Kejadiannya dimulai dari Jumat malam, kakinya mulai kaku. Dia kesakitan
untuk menggerakkan kakinya. Mandi harus saya mandikan, dan dia berusaha
bangun dari tempat tidur dengan bantuan saya. Suami menolak ketika saya
ajak ke Rumah Sakit, dia minta saya membelikan obat dan kakinya
dikompres air panas. Malam Senin, sebetulnya kondisinya belum baik,
jalannya masih kaku dan diseret-seret, saya menyarankan agar hari Senin
ijin tidak masuk kantor, dan mengajaknya ke RS untuk berobat. Suami
menolak, dia bilang nggak enak kalau harus bolos, karena pekerjaannya
banyak sekali. Sempat kesal mendengarnya, tapi suami saya itu nggak bisa
saya cegah. Hari Senin, suami berangkat memakai mobil (biasanya dia ke
kantor pakai motor). Pulang kantor kondisinya memburuk, saya bujuk lagi
untuk berobat, dia tetap nggak mau. Malam itu suami saya mengompres
kakinya yang sakit dan berlatih berjalan agar keesokan harinya bisa
tetap bekerja. Lalu keesokan harinya dan seterusnya dia nekat berangkat
pakai motor. Baru hari Jumat siang dia mau saya antar ke fisioterapi di
RS dekat tempat tinggal kami (karena kondisinya yang semakin
kesakitan). RS itu termasuk RS yang mewah, biaya sekali fisioterapi Rp
140.000,-. Suami harus mendapat terapi sebanyak minimal 5x. Mendengar
hal itu, suami saya yang ‘Paman Gober’ ini jelas merasa kemahalan.Dia
pun mencari RS Pemerintah yang ada klinik fisioterapinya, kebetulan di
dekat kantornya ada RSUD/Rumah Sakit Umum Daerah, biaya untuk
fisioterapi lebih murah ketimbang di RS swasta sebelumnya, sekali datang
Rp 75.000,-. ‘Paman Gober’ ups…maksudnya suami saya semangat dan mau
menyelesaikan terapinya sampai sembuh
.
Sikap suami saya yang karakternya seperti ‘Paman Gober’ ini tentu
saja punya maksud tertentu. Ya, memang beginilah yang seharusnya kami
jalani, yaitu hidup sesuai dengan penghasilan (seorang PNS Dirjen
Pajak). Nggak boleh neko-neko, atau bermewah-mewah menginginkan sesuatu
yang tidak mungkin terjangkau. Kami HARUS CERMAT & HEMAT, demi
impian kami di masa depan.
Sayangnya, sekarang yang diekspose oleh media dan khalayak umum hanya
yang jelek-jeleknya saja. Padahal nggak semua pegawai pajak seperti
Gayus. Masih banyak kok yang jujur dan takut Tuhan, salah satunya adalah
si ‘Paman Gober’ alias suamiku. Hidup kami kalau dibandingkan dengan
Gayus memang sangat bisa dibilang nggak ada apa-apanya. Tapi saya dan
suami nggak pernah merasa ‘kere’ alias miskin, alhamdulillah kami
bersyukur atas segala apa yang Tuhan beri untuk kami. Sampai-sampai saya
juga dengar dari koran dan televisi, nanti akan ada pemeriksaan
rekening/harta kekayaan pegawai pajak. Saya sih ketawa sama suami,
periksa aja….malah saya bilang ke suami, “Malu kali Pa, kalau sampe
diperiksa, soalnya kita mah nggak ada apa-apanya dibandingkan
mereka-mereka itu.”
Sumber : https://noorfamily.wordpress.com
0 comments:
Post a Comment